Wednesday, February 1, 2012

Satu di 2012 - I

Januari 2012 adalah bulan yang luar biasa bagiku. Ada duka, kesedihan yang begitu mendalam. Ada tangis yang seolah takkan pernah berhenti. Ada rencana yang tinggal rencana. Ada tawa yang begitu ceria. Ada semangat yang menggelegar sejagad bumi hingga twitterland. Ada awal baru. Ada juga yang harus berakhir.


Alhamdulillah, terima kasih ya Allah atas pelajaran yang Engkau berikan kepada hamba.


Dimulai dari 31 Desember 2011. Hari terakhir di 2011 ini kami sekeluarga gunakan untuk berkumpul. Kami mengundang saudara dan sahabat untuk datang berkunjung dan sekedar menikmati santap siang. Dua hari yang lalu anak pertama kami, Raka di khitan. Dua minggu yang lalu kami baru saja pindah ke rumah lama yang bertransformasi menjadi rumah baru. Sayang, orang tua tercinta, Papah dan Mamah, Aki dan Ennien nya Raka, tidak bisa hadir. Tiba-tiba saja tanggal 30 Desember, Mamah menelepon kalo Papah gak bisa ke Jakarta karena kakinya sakit. Asam uratnya kambuh pikir ku. Sudah hampir 10 tahun kondisi asam urat Papah naik turun, dan seolah sakit kaki Papah adalah hal yang biasa. Tapi tidak kali ini.

Minggu depannya, tanggal 6 Januari 2011, kami berangkat ke Bandung. Malam Sabtu, hari Jumat kami berangkat dari rumah. Tiba di rumah Papah jam 11 malam. Biasanya saat buka pintu terlihat Papah ada sedang duduk di kursi di depan TV. Tapi tidak kali ini, Papah sedang tiduran di kasur di depan TV, letih, lelah, kusut, tidak seperti biasanya. Terkejut aku melihatnya. Kok sampai separah ini. Aku melihat banyak barang di meja, dari obat, air, madu, tisu, yang aku terkejut pampers. Ya Allah, kenapa Papah. Aku lihat lagi ada pispot dan... Papah pake kateter untuk buang air kencing. Seolah belum berhenti kejutanku, di kamar mandi aku melihat ada kursi yang dimodifikasi dengan dudukan closet.

Cinta Allah sedang datang, Papah sedang dibersihkan dosanya. Sakit pengurang dosa, itu yang ada dipikiranku. Malam itu aku tidur dengan kasur di lantai dengan tempat tidur Papah. Biar kakakku pulang dan istirahat. Entah sudah berapa hari ia kurang istirahat. Sepanjang malam, papah kebangun 3-5 kali, hanya minta minum. Minum pun sepertinya penuh perjuangan. Kata kakakku tadi sudah seminggu lebih tidak buang air besar, sehingga makan pun susah. Perutnya pasti tidak enak.

Sabtu pagi, aku ikut dengan kakakku untuk membawa Papah berobat ke alternatif di daerah Cibaduyut. Aku pertama kali menggendong Papah ke kursi roda, terus ke mobil. Ya Allah, tenaga di tangan ku tidak kuat, kuatkan aku ya Allah, berikan tenaga untuk Papah ya Allah. Entah sudah berapa tahun aku tidak pernah melatih badan ini. Mungkin kalo kondisiku masih seperti 10 tahun yang lalu saat aku masih kuliah, aku pasti kuat. Tapi sekarang... Terima kasih ya Allah, Engkau masih memberikan aku tenaga. Sungguh hati ini tidak kuat, setiap habis di gendong, pasti Papah kesakitan, karena kakinya ketika berubah posisi sakit sekali. Kata orang yang mengobati ada otot juga yang salah posisi. Selesai diobati Papah sempat mencoba berdiri, untuk berjalan belum kuat katanya, pake kursi roda saja.

Sorenya kami anak-anak Papah datang dan bergantian menemani dan menyuapi. Aku berusaha bertahan menahan jangan sampai ada tetesan dari air mata. Badanku lelah, kesakitan minta istirahat. Aku tidur, kebetulan ada kakakku. Selepas Isya aku berdua dengan Papah, papah mengeluh pegel-pegel. Aku pijit, badan Papah sudah kurus tidak seperti dulu waktu aku masih sering memijitnya, aku takut terlalu keras dan mengenai tulangnya. Tapi justru kata Papah kurang keras, gak kerasa katanya. Ya sudah kutambah tenaga ku. Mungkin makin lama tenagaku makin mengecil, Papah bilang pake ini aja, botol kecil minyak oles roll on. Ya Allah apa gak sakit malah kalo pake seperti ini. Ya sudah kuturuti saja keinginannya. Ku pijit hingga tertidur, lalu aku pun ikut tidur. Tidak lama Papah bangun, minum lalu kupijit lagi. Malam ini kateternya dilepas.

Paginya Papah minta diantar ke Purwakarta untuk dipijit. Aku tidak bisa mengantar, aku harus kembali ke Jakarta siang ini. Papah pergi dengan kedua kakakku. Aku berpisah pagi itu. Semoga cepat sembuh, cuma itu yang ada dihatiku.

Kuniatkan untuk ke Bandung setiap akhir pekan hingga Papah sehat. Tapi sepertinya lebih baik aku tidak membawa serta cucunya minggu depan, supaya aku dan istri bisa lebih kosentrasi dalam merawat papah.

Tanggal 13 Januari 2011, aku kembali ke Bandung. Makin terkejut aku, kondisinya malah semakin buruk dibanding terakhir aku ke Bandung. Kali ini Papah tidak bisa tiduran, napasnya susah katanya kalo tidur, ia duduk saja. Hampir sepanjang malam Papah tidak tidur. Aku pun berusaha untuk tetap tidak tidur dan memijatnya. Hampir sepanjang malam ia menahan rasa pegal disekujur badannya, sakit sekali ia kelihatannya. Pijatan ku tidak mampu menghilangkan rasa pegalnya. Setiap seperti tidak kuat, Papah hanya berucap "Laa ila ...." sisanya tidak terdengar jelas. Ingin menangis rasanya aku mendengarnya. Aku ingin berdoa Papah sehat, tapi Allah lah yang Maha Tahu apa yang terbaik untuk umatnya. Aku mohon yang terbaik untuk Papah. Pilihkan yang terbaik ya Allah. Jagoanku sedang sakit. Iya, buatku Papah adalah jagoan. Sejak dulu papah tidak pernah mengeluh. Didikannya yang tegas dan penuh disiplin. Kuat dan hebat. Tahu segalanya. Papah tempat bertanya segala macam hal. Saingan Papah cuma mbah Google buat ku. Apalagi istriku, Papah tempat curhat.

Paginya Papah minta dibawa ke Purwakarta. Mobil kakak gak ada, kami cari sewaan mobil. Via telepon katanya OK, tapi kok gak dateng-dateng. Siang kami baru berangkat. Ya Allah, jalannya jauh sekali ternyata, belum lagi aku salah pilih supir, ngebut terus sepanjang jalan. Bahkan Papah sempat jatuh karena rem mendadak. Sekarang kesakitan kaki Papah. Hampir 2 jam perjalanan kami, akhirnya sampai juga di sebuah desa di sekitar Wanayasa.

Satu jam lebih kutemani ia dipijat. Setelah selesai, kelihatannya ia lebih baik. Tidak ada pegal kelihatannya. Jam 5 an kami baru sampai lagi dirumah. Alhamdulillah Papah bisa makan hari ini. Mudah-mudahan ada tenaga untuk penyembuhan.

Tapi malamnya, ternyata kondisi Papah tidak lebih baik. Pegalnya datang lagi. Kadang miring enak, tidak lama pegal lagi. Pindah duduk kaki ke bawah, badan bersender ke bantal. Atau pindah ke kursi roda. Begitu terus sepanjang malam.

Esoknya hari Minggu, jam 13 aku harus pulang. Kasihan Ibu mertua yang sudah 2 hari kutitipkan anak-anak. Tapi aku juga tidak mau pulang meninggalkan Papah yang seperti ini. Paginya Papah buang air besar, kakakku dengan telaten membersihkannya. Alhamdulillah. Sudah seminggu tidak buang air besar. Siangnya setelah shalat, aku pamit. Kucium tangan dan kening. Aku ingin minggu depan aku ke Bandung untuk menemani Papah jalan-jalan, itu yang ku bilang. Amin katanya. Istriku pamit. Papah berucap lagi "La ilaha Ilallah". Jelas. Istriku menangis. Aku menahan tangis dan menenangkan istriku. Kami pamit. Nanti Jumat kami ke Bandung lagi.

Selasa, kata istriku, kabar dari bandung, Papah sudah mulai membaik. Makan sudah banyak. Sudah bisa ngaji lagi. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah. Rabu rencananya aku ada pekerjaan ke Bandung. Tapi belum pasti. Kalo sudah pasti aku mau pergi duluan pagi-pagi, jadi bisa nengok Papah dulu sebelum kerja. Tapi jam 11, batal. Gak jadi ke Bandung. Ya sudahlah.

19 Januari 2012.

Hari yang kan selalu kuingat. Malamnya aku tertidur, sedangkan aku belum shalat isya. Aku bangun, duduk di kursi eh malah tidur lagi. Jam 1 telepon rumah berbunyi, siapa? Orang iseng lagi? Minggu kemaren ada orang iseng terus. Ku tekan tombol bicara terus tidur lagi. Jam 3 tiba-tiba aku terbangun. Ya Allah maaf aku membiarkan diriku tidur. Buru-buru aku wudhu. Setelah Isya, kulanjut Tahajjud. Ku berdoa untuk Papah, semoga yang terbaik. Jika sudah waktunya, semoga husnulkhotimah. Amin. Ku ambil hp, aku mau cek shubuh berapa jam lagi, hp kuhidupkan, kok ada misscall dari bandung. Ku telepon kakakku. "Na, Papah udah gak ada"

Waktu terasa berhenti, aku tidak mendengar apa-apa lagi, air mata mengalir deras, makin lama, aku menangis semakin kencang. Istriku bangun dan mengambil hp.

04.00 aku berangkat ke Bandung. Semoga mobil ku bisa ngebut. Aku mau mandiin Papah. Cuma itu yang kumau sekarang. Sudah berapa tahun, Si Ijo tidak pernah kubawa ngebut. 120 km/jam, aku gak tega ditekan lagi. Napas Si Ijo masih ada, tapi kasian. Si Ijo ini kenang-kenangan dari Papah.

Aku berhenti sebentar untuk shubuh. Sepanjang jalan aku tidak bisa menahan air mataku. Anak-anak tertidur dibelakang. Aku tiba di rumah Papah jam 06.25. Papah sudah rapih, terlambat, Papah sudah dimandiin. Aku menunduk dengan air mata. Tinggal menyolatkan yang bisa kulakukan. Ku ambil wudhu dan ku shalat di depan jenazah.

Papah meninggal tadi jam 00.05. Ketika aku tahajjud Papah sudah pergi. Penderitaannya di dunia sudah selesai. Semoga ia dijauhkan dari siksa kubur dan api neraka. Jam 11 Papah dimakamkan. Tidak kuat aku melihat tanah menutup jenazahnya. Rasanya aku lompat dan menemaninya. Kasihan Papah sendiri disana. Gelap. Dingin.

Selamat jalan Papah. Terima kasih untuk semua yang sudah engkau berikan. Maaf aku belum berbakti kepadamu. Maaf aku belum sempat mengucapkan terima kasih langsung. Aku mencintaimu Papah.

Ya Allah ampuni dosa nya, terima lah amalannya, tempatkan disisi Mu bersama orang-orang beriman.

Amin